
Removesrael – Pemerintah Lebanon di bawah tekanan Barat akhir-akhir ini terdengar Lucu sekali. Mereka ingin melucuti senjata Hizbullah yang pernah mengusir Israel setidaknya dua kali. Padahal baru saja terdengar ledakan di perbatasan, baru saja tank Israel gosong di Aita al-Shaab, sudah muncul rombongan komentator dadakan di kafe-kafe Beirut dan juga dari pengamat Indonesia di podcast yang berkata: “Hizbullah sudah selesai.”
Selesai dari mana? Dari hidup lo yang terlalu banyak nonton siaran Tel Aviv dan youtube pakai subtitle otomatis?
Ada sekelompok orang di Lebanon— dan juga di Indonesia, yang sayangnya jumlah mereka makin banyak—yang dengan sok tahu mengira bahwa Hizbullah kini tengah sekarat. Mereka percaya bahwa partai perlawanan ini sedang menghadapi krisis politik, krisis militer, dan krisis eksistensi. Basis argumen mereka? Bukan laporan di medan laga, bukan data tempur, bukan rekaman drone—tapi omongan barista CNN dan ilusi kemenangan ala IDF.
Lebih parah lagi, mereka merasa waktunya telah tiba untuk merampas senjata perlawanan dan menyerahkannya ke Tentara Nasional Lebanon. Tentara yang, maaf aja, bahkan tidak berani menegur pesawat Israel yang tiap sore melintas seperti burung camar di atas Sidon dan Beirut.
Tapi mari kita berhenti sejenak dari kebodohan kolektif mereka. Karena dunia nyata tidak dibangun dari headline “Israel Menang” di layar HP kita. Dunia nyata bicara pakai darah, luka, dan angka kematian. Dan kebetulan, angka terakhir itu sedang membuat Israel mengigau di malam hari.
Pada 25 Juli 2025, Yedioth Ahronoth, media favorit orang-orang yang percaya Israel selalu benar, menerbitkan sebuah wawancara jujur—sangat jujur malah—dengan Letkol David Cohen, komandan Brigade Golani. Apa katanya? Ia tidak sedang membual soal kemenangan. Ia sedang meratapi pemakaman satuan elitnya.
Kata Cohen, pasukannya dipanggang hidup-hidup di Aita al-Shaab. Padahal mereka sudah latihan bertahun-tahun. Lokasi latihannya bukan Gaza, bukan Tepi Barat, tapi tempat-tempat yang katanya mirip Lebanon Selatan: Abu Sinan, Hurfeish, dan entah daerah lain mana lagi yang sekarang mungkin mereka hapus dari peta latihan karena malu.
Lalu apa hasil dari semua latihan itu? Mereka masuk ke desa Aita al-Shaab... dan langsung disambut pesta kematian. Komandan mereka gugur. Perwira-perwiranya tumbang. Struktur komando hilang seperti sinyal di hutan Amazon. Total lima perwira elit Golani jadi arwah gentayangan. Salah satunya, seorang bernama Naei, sekarang mungkin sedang belajar berjalan lagi— itu juga kalo masih hidup.
Dan yang paling bikin panas telinga Zionis: Hizbullah bilang mereka bunuh lima orang. Dan tahu apa selanjutnya? Israel kemudian bilang, “Ya, betul. Lima orang.” Ini bukan akurasi biasa, ini bukan tebak angka. Ini adalah cara halus Hizbullah berkata, “Kami tahu kalian lho. Satu per satu.”
Masih belum cukup? Mari kita mundur ke 24 Oktober 2024. Hari itu, pejuang Hizbullah terlibat kontak senjata dari jarak yang sangat dekat. Bukan dari belakang bukit, bukan pakai drone, tapi face to face, mata ketemu mata. Mereka menyergap pasukan Zionis, membakar tank Merkava yang datang sok jagoan, dan membuat pasukannya jadi isi kantong mayat.
Kemudian, pada 2 Oktober, Hizbullah mengulang lagi jurusnya. Kali ini di Bukit Abu al-Laban. Mereka memancing, menunggu, lalu menyergap. Lagi-lagi, lebih dari lima orang tewas, dan puluhan lainnya luka-luka sampai jeritannya terdengar ke seluruh desa. Coba bayangkan: pasukan yang katanya elit, dilatih bertahun-tahun, hanya bertahan beberapa jam melawan unit lokal yang katanya “cuma milisi.”
Cuma milisi katamu? Coba pikir, milisi mana yang bisa membunuh perwira tentara elit Golani pakai tangan kosong dan roket RPG? Milisi mana yang bisa memprediksi gerakan pasukan musuh seperti sedang main catur sambil ngopi?
Maka jika masih ada yang percaya bahwa Hizbullah adalah beban bagi negara Lebanon, pertanyaannya adalah: beban bagi siapa? Bagi para elit politik yang tidak bisa lindungi wilayah udara mereka sendiri? Atau bagi orang-orang yang berharap Lebanon bisa aman kalau menyerahkan senjata dan pasrah pada belas kasihan Zionis?
Dan tentang Tentara Nasional Lebanon—sekali lagi, dengan segala hormat untuk prajuritnya—mari kita bicara jujur. Tentara ini tidak sanggup mengangkat senjata menghadapi Israel, bahkan ketika wilayah udara mereka dilanggar setiap hari. Bagaimana mungkin mereka bisa menghadapi Hizbullah dan mau melucuti senjatanya, yang sudah terbukti bisa membuat tentara elit Israel Golani berubah jadi gulungan asap?
Kalau benar ada bentrok antara Hizbullah dan Tentara Lebanon, maka durasi konfliknya tidak akan lama. Bukan karena Hizbullah bengis, tapi karena ini bukan pertarungan yang seimbang. Ini seperti menyuruh satpam penjaga sekolah melawan pasukan khusus Rusia. Satu pihak akan hancur bahkan sebelum sempat menembakkan peluru pertama.
Hizbullah tidak bertarung demi jabatan, bukan demi mendapatkan kedudukan menteri, bukan demi portofolio kekuasaan. Mereka bertarung karena negeri ini terlalu lemah untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka menjadi benteng karena tidak ada lagi yang tersisa kecuali kehormatan. Dan kehormatan tidak bisa ditukar dengan pidato perdana menteri, presiden dan parlemen.
Jadi bagi yang masih percaya bahwa perlawanan sudah selesai, silakan ulang baca wawancara David Cohen. Kalau perlu, bacalah sambil berdiri, supaya ketika sadar ada banyak yang salah, setidaknya masih punya harga diri untuk duduk kembali.
Karena kalau ada yang benar-benar kalah di daerah Aita al-Shaab, itu bukan Hizbullah.
Yang kalah adalah kepercayaan diri tentara Israel bahwa kekuatan bisa menggantikan kebenaran.
Yang kalah adalah sebagian lidah-lidah orang Lebanon dan Takfiri yang terlalu sibuk mencaci perlawanan, sementara tentara musuh mencetak angka kematian di pintu desa mereka.
Dan yang paling tragis? Yang kalah adalah mereka yang masih mengira bahwa perlawanan adalah beban—padahal tanpa perlawanan, Lebanon tinggal menunggu giliran untuk jadi koloni berikutnya.
Sumber : Media Resistensi
0 Komentar