Sandiwara Perang Iran Vs Israel, Logika darimana?

Foto: "Channel 13 Israel melaporkan, serangan Iran menyebabkan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya di wilayah Tel Aviv, dengan puluhan bangunan rusak akibat rudal Iran atau pecahan peluru kendali."(sc)

Removesrael – Pada 13 Juni 2025, dunia menyaksikan eskalasi berbahaya dalam konflik Timur Tengah ketika Israel melancarkan serangan udara ke Teheran yang menewaskan sejumlah komandan senior IRGC dan ilmuwan nuklir Iran.

Tidak sampai 24 jam berselang, Iran merespons dengan meluncurkan rudal-rudal balistik yang menghantam Tel Aviv dan kota-kota penting lainnya di Israel.

Di tengah ketegangan nyata ini, justru muncul kembali narasi lama yang spekulatif dan reduksionis yaitu bahwa Iran dan Israel sebenarnya “bersekongkol” atau “bersandiwara” dalam konflik yang tampak serius ini.

Logika darimana narasi semacam ini?, meskipun tidak memiliki dasar empirik yang kuat, tetap hidup dan menyebar, terutama di kalangan kelompok Islamis yang anti-Iran.

Secara geopolitik dan teoretis, tuduhan ini tidak hanya dangkal, tetapi juga merupakan bentuk penyangkalan yang destruktif.

Dalam lensa hubungan internasional, pendekatan constructivism dan enemy construction memberi kita cara memahami absurditas ini.

Iran sebagai “The Other”

Dalam karyanya yang monumental Orientalism, Edward Said menjelaskan bahwa musuh bukanlah entitas objektif yang eksis begitu saja, melainkan konstruksi budaya dan politik yang melayani kepentingan dominasi.

Said menggambarkan bagaimana dunia Barat mereproduksi narasi tentang “Timur” secara sistematis sebagai inferior dan berbahaya.

Proses ini kini direproduksi oleh sebagian umat Islam sendiri. Mereka membingkai Iran sebagai “the Other”—musuh internal yang lebih berbahaya dari musuh eksternal seperti Israel. Ironisnya, cara berpikir ini justru mengikuti kerangka orientalis yang dulu dikritik keras oleh Said.

Ketika Iran secara terbuka membela Palestina—baik melalui retorika maupun aksi nyata—reaksi sebagian umat Muslim justru berupa kecurigaan dan penolakan.

Mereka tidak siap menerima kenyataan bahwa pembela paling vokal Palestina justru berasal dari poros yang berbeda mazhab.

Maka, narasi konspiratif “Iran bersandiwara” dijadikan alat untuk menenangkan batin yang sedang mengalami benturan keyakinan.

Dalam teori constructivism, seperti yang diutarakan oleh Alexander Wendt, makna dan identitas dikonstruksi secara sosial dan memengaruhi perilaku negara.

Narasi “Iran-Israel bersandiwara” adalah upaya konstruksi sosial yang tidak ditujukan untuk menjelaskan realitas, melainkan untuk mendelegitimasi musuh sektarian. Ini adalah perang makna, bukan sekadar konflik militer.

Klaim konspirasi yang tidak Berdasar Secara empiris, klaim konspirasi itu tidak berdasar, dengan sejumlah argumen. Pertama, Israel secara resmi menyebut Iran sebagai existential threat, dan ini tercermin dalam strategi militer dan operasi pembunuhan terhadap ilmuwan Iran.

Kedua, Iran adalah satu-satunya negara yang secara eksplisit menolak eksistensi politik Israel sekaligus mendukung kelompok-kelompok resistensi seperti Hizbullah dan Hamas.

Iran jauh berbeda dibandingkan Turki, misalnya, yang secara retorika aktif mengecam Israel, tetapi di saat yang sama masih membiarkan Kedubes Israel di Ankara dan mengizinkan pelabuhannya dipakai untuk menyalurkan minyak ke Israel.

Ketiga, serangan langsung Iran ke Tel Aviv pada April dan Oktober 2024, serta 14-15 Juni yang sedang berlangsung, dapat diakses publik real time, direkam oleh ribuan -atau puluhan ribu- kamera netizen dari Palestina, Lebanon, maupun Israel sendiri.

Video-video itu viral secara organik, tidak dikoordinasi ala buzzer. Sesuatu yang tak akan mungkin terjadi jika semua “sandiwara” belaka.

Keempat, dari sudut pandang realism offensive, tak mungkin dua negara dengan konflik eksistensial berkoordinasi secara rahasia. Ayatollah Khamenei dan Netanyahu merepresentasikan dua ideologi dan strategi politik yang bukan hanya berlawanan, tapi bahkan saling mengancam secara eksistensial.

Membayangkan bahwa mereka saling bersandiwara adalah bentuk kebutaan terhadap logika politik negara-bangsa.

Mengapa narasi “sandiwara” ini terus hidup?

Pertama, karena ada aktor sektarian dengan kebencian yang irrasional yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa pemerintah Iran yang didominasi umat Syiah lebih membela Palestina dibanding rezim-rezim Sunni di kawasan Timur Tengah.

Kedua, karena secara alamiah, ada kebutuhan psikologis untuk tetap “merasa benar.” Ini semacam mekanisme pertahanan psikologis: menyangkal kenyataan yang menyakitkan dengan cara menciptakan ilusi alternatif.

Mereka sesungguhnya mendambakan pahlawan yang dapat menyelamatkan bangsa Palestina.

Logikanya, jika benar-benar merindukan kemerdekaan bagi Palestina, tidak perlu dipersoalkan siapa yang membantu.

Jika sungguh merasa bersaudara dengan bangsa Palestina, bantu saja pihak-pihak yang membantu, dengan segala upaya maupun keterbatasan yang kita miliki.

Akhirnya, kita harus menyatakan dengan jelas: yang sebenarnya bersandiwara adalah mereka yang mengaku membela Palestina tapi sibuk menyerang Iran.

Yang sebenarnya menciptakan drama adalah mereka yang menyebar narasi bahwa Iran dan Israel berpura-pura bertikai, padahal merekalah yang diam-diam mendukung pendudukan dan menormalisasi penjajahan.

Sumber : Tulisan Nashih Nasrullah melalui redaksi Republika

Posting Komentar

0 Komentar