[VIDEO] Bantuan Ormas Ahlul Bait Indonesia Berhasil Tembus Gaza

Foto:"Sederhana, tanpa seremoni, tetapi nyata; Bagi rakyat Indonesia, momen ini menggema lebih dalam. Pada peringatan delapan dekade kemerdekaan, Indonesia, melalui Ahlulbait Indonesia (ABI) dan berbagai ormas lain, menafsirkan kembali arti ‘merdeka’: dengan keberanian menegakkan kemanusiaan di tengah jerat blokade."(ABI)

Removesrael – Krisis dan Sebuah Kejutan dari Indonesia; Di tengah reruntuhan Gaza yang hancur oleh perang, dunia menyaksikan ironi yang menyayat nurani. Gudang-gudang bantuan penuh sesak, namun rakyat Gaza tetap lapar dan haus. Truk-truk konvoi lembaga internasional menumpuk di perbatasan, terhalang izin dan negosiasi yang tak kunjung selesai. Di saat yang sama, sejumlah negara besar memilih jalur dramatis dengan menjatuhkan paket bantuan lewat udara. Visualnya spektakuler, tetapi efektivitasnya dipertanyakan, paket bisa salah sasaran, terbawa angin, bahkan menimbulkan kerumunan yang menimbulkan korban.

Dalam kebuntuan inilah, tepat pada peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, Minggu 17 Agustus 2025, sebuah kabar dari tanah air hadir laksana oase di padang tandus. Ahlulbait Indonesia (ABI), sebuah organisasi keagamaan berbasis komunitas, berhasil menyalurkan lima truk, masing-masing berisi lima ribu liter air minum yang langsung ke kawasan Jabalia, Gaza. Dokumentasi lapangan memperlihatkan air itu dituangkan ke jeriken, disambut ibu-ibu dan anak-anak yang meneguknya dengan lega.

Sederhana, tanpa seremoni, tetapi nyata

Bagi rakyat Indonesia, momen ini menggema lebih dalam. Pada peringatan delapan dekade kemerdekaan, Indonesia, melalui Ahlulbait Indonesia (ABI) dan berbagai ormas lain, menafsirkan kembali arti ‘merdeka’: dengan keberanian menegakkan kemanusiaan di tengah jerat blokade.

Pertanyaan pun muncul,“jika ABI dan organisasi serupa mampu melakukannya, apa sebenarnya yang menghalangi lembaga-lembaga besar?”

Ironi Bantuan Global: Antara Spektakel dan Realitas

Bantuan kemanusiaan telah lama menjadi arena simbolisme. Negara donor dan lembaga internasional seringkali lebih peduli pada citra publik daripada efektivitas lapangan. Airdrop menjadi contoh paling jelas: mahal, berbahaya, penuh drama, tetapi minim kepastian manfaat. Dalam kasus Gaza, sejumlah laporan bahkan menyebut korban jiwa akibat berebut paket yang jatuh.

Sementara itu, diplomasi multilateral tersandera kepentingan politik. Setiap truk bantuan harus melewati persetujuan Israel, otoritas Mesir, hingga koordinasi dengan PBB. Jalurnya penuh negosiasi, dan di balik layar terdapat kalkulasi geopolitik, siapa yang berhak menyalurkan, siapa yang berhak mengklaim, dan bagaimana bantuan itu akan memengaruhi peta diplomasi regional.

Hasilnya adalah paradoks, dimana puluhan ribu ton bantuan menunggu di perbatasan, tetapi setetes air bersih untuk anak-anak Gaza terasa begitu mustahil.

Mengapa ABI Bisa?

Keberhasilan ABI dan juga beberapa ormas lain, justru datang dari apa yang dianggap “kelemahan”, skala kecil dan fleksibilitas. Lima truk tanki berisi air tidak tampak spektakuler dibanding konvoi ratusan kendaraan PBB, tetapi justru karena kesederhanaannya, misi itu bisa menembus celah blokade. ABI tidak membawa agenda politik global. Mereka bergerak dengan pendekatan komunitas, bekerja sama dengan ormas lain, jaringan sosial, dan bertumpu pada keberanian moral. Risiko tentu ada, tetapi keputusan untuk bertindak cepat, alih-alih menunggu izin berbelit, membuat bantuan benar-benar sampai.

Perbedaan inilah yang mencolok, bahwa lembaga besar lebih menimbang konsekuensi diplomatik, sementara ABI menimbang kebutuhan dasar manusia dan kemanusiaan.

Lihat Video :


Antara Solidaritas Nyata dan Panggung Seremoni

Setiap krisis Gaza selalu diiringi dengan gelombang solidaritas publik, termasuk di Indonesia. Dana miliaran rupiah terkumpul melalui konser amal, aksi jalanan, hingga kampanye daring. Namun, publik sering kali hanya menerima laporan berupa angka dan dokumentasi seremoni penyerahan simbolis. Transparansi distribusi menjadi tanda tanya.

Keberhasilan ABI ini tentu menjadi cermin korektif. Publik kini berhak menuntut bukti nyata, bukan hanya melihat coretan berjilid dari laporan keuangan. Solidaritas tidak boleh berhenti di panggung atau media sosial, tetapi harus menyentuh realitas: air yang benar-benar bisa diminum, roti yang benar-benar bisa dimakan, obat yang benar-benar bisa menyelamatkan nyawa.

Dimensi Geopolitik dan Birokrasi

Satu fakta pahit adalah bahwa hambatan utama distribusi bantuan ke Gaza bukan semata logistik, melainkan politik. Blokade Israel bukan hanya soal keamanan, melainkan juga instrumen pengendalian atas arus barang dan narasi global. Mesir, di sisi lain, memainkan perannya sebagai “gerbang selatan” yang juga sarat kepentingan domestik dan tekanan internasional.

Bagi lembaga besar, setiap langkah harus dipastikan sesuai protokol, disetujui pihak-pihak berwenang, dan aman secara politik. Tidak heran jika jalannya menjadi berliku dan lambat. Dalam sistem ini, fleksibilitas kecil justru lebih unggul dibanding kekuatan besar yang terjebak aturan sendiri.

Simbol Moral dari Lima Truk Air

Apa arti lima truk air dibanding puluhan ribu ton bantuan internasional yang tertahan? Secara kuantitatif, memang kecil. Tetapi secara simbolis, ini adalah besar sekali. Air itu bukan hanya kebutuhan primer, melainkan penegasan moral, bahwa solidaritas sejati tidak memerlukan seremoni atau teknologi canggih. Hanya memerlukan keberanian untuk hadir.

Setiap tetes air yang diminum warga Gaza di Jabalia adalah bukti bahwa keikhlasan publik Indonesia benar-benar sampai. Dan lebih jauh, ini adalah kritik telak kepada sistem kemanusiaan global yang terlalu sering terjebak dalam retorika.

Pelajaran untuk Indonesia dan Dunia

Dari keberhasilan ABI, ada beberapa pelajaran penting.

1. Solidaritas tidak bergantung pada skala besar. Langkah kecil namun nyata lebih berarti daripada rencana megah yang gagal diwujudkan.

2. Keberanian moral melampaui birokrasi. Hambatan diplomasi dan geopolitik sering dijadikan alasan, padahal selalu ada celah jika ada kemauan dan tekad.

3. Publik berhak atas transparansi. Donasi kemanusiaan harus dibuktikan dengan hasil konkret, bukan hanya dokumentasi seremoni.

4. Kemanusiaan di atas politik. Ketika lembaga besar sibuk menghitung risiko citra, organisasi kecil menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah mandat yang harus segera dijalankan.

Penutup

Jika sebuah ormas keagamaan berbasis komunitas di Indonesia, seperti Ahlulbait Indonesia (ABI) dan lainnya, mampu menghadirkan bantuan seperti air bersih ke Gaza, maka alasan ‘tidak bisa’ yang kerap diulang lembaga-lembaga besar patut dipertanyakan. Yang hilang sesungguhnya bukan kemampuan, melainkan kemauan, tekad, dan keberanian.

Pertanyaan akhirnya bukan lagi, “apakah mungkin menyalurkan bantuan ke Gaza?” Melainkan, “siapa yang sungguh-sungguh mau membuktikannya?”

Di balik konvoi lima truk tanki air yang sederhana itu, kita melihat sebuah simbol kuat, bahwa solidaritas yang sejati tidak selalu jatuh dari langit dalam paket airdrop, melainkan mengalir dari tangan manusia ke tangan manusia lainnya. Dan justru karena kesederhanaannya itu, kini menjadi kritik paling tajam dan bermartabat terhadap sistem bantuan global yang macet.

Sumber :Redaksi Media ABI (Ahlul Bait Indonesia)

Posting Komentar

0 Komentar