
Removesrael – Dari selatan Jazirah Arab, suara pelabuhan-pelabuhan yang kini sunyi justru terdengar lebih nyaring daripada dentuman rudal. Yaman, yang selama ini dikenal dunia sebagai tanah penuh konflik internal dan krisis kemanusiaan, kini secara tak terduga tampil sebagai aktor global dengan satu senjata utama: kapal-kapal dagang yang tak lagi berani lewat.
Tak mengherankan, karena Laut Merah yang dulunya merupakan jalur emas perdagangan dunia, perlahan berubah menjadi kolam saraf tegang. Setiap gelombangnya kini memantulkan kegelisahan pasar global. Kapal-kapal kontainer raksasa yang biasanya melenggang angkuh dari Suez ke Asia, kini terpaksa memutar jauh ke selatan, melintasi Tanjung Harapan. Akibatnya, pelayaran menjadi lebih lama, konsumsi bahan bakar melonjak, dan tentu saja, laba perusahaan ikut tenggelam dalam ketidakpastian.
Yang menarik, semua ini bukan sekadar efek samping dari krisis regional, melainkan hasil dari satu keputusan strategis: eskalasi terukur dari Yaman. Menurut Financial Times, pengumuman Angkatan Bersenjata Yaman untuk memasuki fase baru perlawanan di laut menandai titik balik. Jika sebelumnya mereka menargetkan kapal yang terhubung langsung dengan Israel, maka kini daftar sasaran diperluas. Kapal-kapal dengan hubungan tidak langsung, bahkan yang sekadar bersentuhan diplomatik dengan AS atau Inggris, tak lagi aman dari risiko.
YAMAN, LAUT MERAH, DAN MURKA YANG MENYEBERANG SAMUDERA pic.twitter.com/qGluV2EiHH
— Rem0vesrael (@rem0vesrael) August 8, 2025
Dengan demikian, aksi-aksi ini tak lagi bisa dianggap sekadar improvisasi dari kelompok bersenjata. Justru sebaliknya, mereka mencerminkan presisi operasi berbasis intelijen yang matang. Maka tak heran, Martin Kelly, kepala analis risiko di grup EOS, menyebutnya sebagai “pergeseran niat” yang serius. Ia bahkan memperkirakan bahwa serangan-serangan berikutnya akan jauh lebih tajam dan menyasar titik-titik vital.
Di sisi lain, Yaman tampaknya sadar betul akan lanskap moral dunia saat ini. Di tengah kecaman internasional terhadap genosida yang berlangsung di Gaza, serangan laut mereka mendadak memperoleh semacam legitimasi moral. Bahkan, menurut salah satu analis maritim yang dikutip dalam laporan, kemarahan global terhadap kekejaman Israel telah memberikan “selimut etis” bagi langkah Yaman. Ini membuat Barat, yang terbiasa tampil gagah dengan jargon HAM, mendadak gagap dalam menentukan sikap.
Lebih lanjut, situasi menjadi semakin kompleks karena Amerika Serikat sendiri, hingga kini, masih menjaga "gencatan senjata tidak resmi" dengan Yaman. Tidak ada serangan langsung terhadap kapal AS, dan sebaliknya, tidak ada peluru Amerika yang menghantam Sanaa secara terbuka. Ini menciptakan ruang ambiguitas strategis—semacam situationship diplomatik—yang membuat kedua pihak menahan napas sambil menunggu siapa yang lebih dulu bersin.
Dari sudut pandang strategis, ini adalah pencapaian besar bagi Yaman. Tanpa armada laut canggih, tanpa pangkalan internasional, mereka berhasil menciptakan semacam deterrence—penyeimbang kekuatan yang membuat serangan balasan langsung menjadi terlalu mahal secara politik dan militer.
Karena itu, keberhasilan ini bukan sekadar keberanian simbolik. Ini adalah bentuk baru dari kekuatan: kekuatan untuk membuat dunia mengubah rute. Kekuatan untuk membuat peta global merinding.
Maka, wajar jika Financial Times menutup laporannya dengan peringatan tajam. Fase baru blokade militer dari Yaman tak hanya menekan Israel secara ekonomi, tapi juga mengguncang stabilitas jalur perdagangan global. Jalur yang dulu dianggap aman, kini harus diperhitungkan ulang. Karena dunia bisa saja membeli kapal baru, memperluas armada, atau menyewa pasukan pengawal bersenjata, tetapi satu hal yang tidak bisa mereka beli adalah: keberanian dari orang-orang yang sudah terlalu lama hidup di bawah reruntuhan dan akhirnya memutuskan untuk berdiri.
Dan sering kali, sejarah justru ditulis oleh mereka yang lelah menjadi korban, lalu memilih menjadi perlawanan yang mengguncang kemapanan para tiran.
Sumber : SWG
0 Komentar